Bulan pucat menggantung di atas Danau Seribu Bintang, saksi bisu bisikan masa kecil Wei dan Lin. Mereka tumbuh bersama di kaki Gunung Tian Shan, Wei yang riang seperti angin musim semi, Lin yang tenang bagai batu giok yang tersembunyi. Lebih dari sekadar saudara seperguruan di Sekte Bulan Purnama, mereka adalah jiwa yang terhubung, terikat oleh janji setia di bawah pohon bunga persik yang mekar.
"Lin, aku berjanji akan selalu melindungimu," bisik Wei suatu senja, matanya memantulkan cahaya rembulan.
Lin tersenyum tipis, "Aku tidak membutuhkan perlindunganmu, Wei. Aku hanya membutuhkanmu di sisiku."
Namun, senyum itu menutupi rahasia yang lebih dalam dari lautan. Lin, pewaris takhta Kerajaan Seribu Bintang yang hilang, dititipkan kepada Sekte Bulan Purnama untuk melarikan diri dari perburuan klan serigala yang haus darah. Hanya Wei yang tahu kebenaran itu, terikat sumpah untuk menjaganya sampai waktunya tiba.
Waktu berlalu, Wei dan Lin menjadi pendekar yang disegani. Wei, dengan pedang Angin Utara yang mematikan, dan Lin, dengan panah Bulan Sabit yang tak pernah meleset. Tapi, persaingan mulai merayap di antara mereka, dipicu oleh ambisi dan kecemburuan tersembunyi. Wei, yang selalu berada di bawah bayang-bayang Lin, mulai membenci takdir yang membuatnya menjadi pengawal, bukan pemimpin.
"Mengapa aku yang harus selalu mengalah?" gumam Wei suatu malam, menatap rembulan yang sama. "Mengapa bukan aku yang berhak atas segalanya?"
Lin mendengar gumaman itu. Hatinya mencelos. RAHASIA yang seharusnya mengikat mereka kini menjadi jurang pemisah.
Kemudian datanglah hari itu. Klan Serigala menyerbu Sekte Bulan Purnama, dipimpin oleh seorang jenderal bertopeng yang haus akan kekuasaan. Wei, dengan dalih melindungi Lin, membawanya ke Gerbang Terlarang, pintu masuk ke labirin kuno yang berbahaya.
"Kita akan aman di sini," kata Wei, senyumnya dingin. "Tidak ada yang berani memasuki tempat ini."
Namun, di balik senyum itu, tersembunyi pengkhianatan yang mengerikan. Wei telah memberikan peta labirin kepada Klan Serigala, dengan imbalan janji kekuasaan. Dia telah mengorbankan Lin demi ambisinya sendiri.
Di dalam labirin, Lin menghadapi kenyataan pahit. Wei telah mengkhianatinya. Bukan hanya sebagai saudara seperguruan, tetapi sebagai sahabat. Perasaan cinta dan pengkhianatan bercampur aduk dalam hatinya, menciptakan badai yang lebih dahsyat dari badai pasir di Gurun Gobi.
"Wei... mengapa?" bisiknya, air mata mengalir di pipinya.
Pertemuan terakhir mereka terjadi di jantung labirin, di depan altar kuno yang memancarkan aura kematian. Wei, dengan pedang Angin Utara terhunus, menatap Lin dengan tatapan yang sulit dibaca.
"Maafkan aku, Lin," kata Wei, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku... aku menginginkan semuanya."
"Semuanya?" Lin tertawa getir. "Kau sudah memiliki segalanya, Wei. Kasih sayangku."
Pertempuran pun dimulai. Dua jiwa yang pernah terikat kini bertarung sampai mati. Pedang beradu pedang, panah beradu pedang, api amarah beradu dengan air mata penyesalan. Di akhir pertarungan, Lin, meskipun terluka parah, berhasil mengalahkan Wei.
Wei tergeletak di tanah, darah mengalir dari lukanya. Lin berlutut di sampingnya, wajahnya dipenuhi kesedihan.
"Kau... kau tahu?" tanya Wei lemah.
Lin mengangguk. "Aku selalu tahu. Aku tahu kau membenciku. Aku tahu kau menginginkan semua yang kumiliki."
"Lalu... mengapa... kau tidak membunuhku dari awal?"
Lin tersenyum getir. "Karena... cinta... selalu lebih kuat dari kebencian."
Dengan sisa tenaga terakhirnya, Lin mencabut panah Bulan Sabitnya dan mengarahkannya ke jantung Wei.
"Ini bukan balas dendam, Wei," bisik Lin. "Ini... penebusan."
Saat panah itu menembus jantung Wei, sebuah rahasia kuno terungkap. Wei bukanlah manusia biasa. Dia adalah reinkarnasi dari dewa perang yang dikutuk untuk mencintai dan mengkhianati Lin selama ribuan tahun. Setiap kehidupan, mereka akan bertemu, saling mencintai, dan saling mengkhianati, terjebak dalam siklus abadi penderitaan.
Wei tersenyum, senyum pahit dan tragis. "Akhirnya... kau tahu..."
Lin menangis, hatinya hancur berkeping-keping. Dia telah membunuh orang yang dicintainya, sekali lagi, untuk membebaskan mereka berdua dari kutukan abadi.
Sebelum Wei menghembuskan nafas terakhirnya, dia berbisik, "Di kehidupan selanjutnya... jangan pernah mencintaiku…"
You Might Also Like: 131 Did Mike Wolfe Of Pickers Pass Away