Drama Populer: Pedang Yang Menyala Saat Mereka Bertemu



Pedang yang Menyala Saat Mereka Bertemu

Aula istana berkilauan di bawah ribuan lentera. Malam itu, aroma melati dan kemenyan berpadu, menciptakan simfoni wangi yang menenangkan. Tapi tidak bagi Xiang Mei. Di balik gaun sutra berwarna crimson yang membalut tubuhnya dengan sempurna, jantungnya berdebar keras, seperti tabuhan genderang perang.

Delapan tahun. Delapan tahun ia mencintai Pangeran Rui, menyerahkan segalanya, bahkan impiannya sendiri, demi pria itu. Delapan tahun SENYUM manisnya hanya untuk pria itu. Delapan tahun ia percaya pada PELUKAN hangat yang selalu ia dambakan.

Dan sekarang?

Di ujung aula, Pangeran Rui berdiri, gagah dalam balutan jubah naga emas. Di sampingnya, seorang wanita bergaun putih, senyumnya berseri-seri. Putri dari Kerajaan Utara. Istrinya.

Dunia Xiang Mei runtuh tanpa suara.

"Xiang Mei," sapa Pangeran Rui, suaranya rendah dan merdu, seperti JANJI yang dulu sering ia bisikkan di telinganya. "Perkenalkan, ini Putri Lian, istriku."

Xiang Mei membungkuk anggun. "Selamat kepada Pangeran dan Putri." Senyumnya terasa hambar, senyum yang dipaksakan. Senyum yang menipu.

Malam itu, Xiang Mei menari. Bukan tarian sukacita, tapi tarian duka. Setiap gerakan adalah elegi bagi cinta yang hilang, bagi hati yang hancur berkeping-keping. Orang-orang terpukau oleh keanggunannya, tidak menyadari bahwa di balik mata indahnya, tersimpan lautan air mata yang tak pernah tumpah.

Waktu berlalu. Xiang Mei tetap di istana, menjadi penasihat Pangeran Rui. Ia mengamati setiap gerak-geriknya, setiap keputusannya, dengan tatapan tajam yang tersembunyi di balik kerudung kelembutan. Ia belajar bagaimana cara kerajaannya beroperasi, bagaimana intrik politik dimainkan, dan yang terpenting, KELEMAHAN Pangeran Rui.

Beberapa tahun kemudian, Kerajaan Utara melancarkan serangan. Pangeran Rui, yang selama ini dikenal sebagai pangeran yang bijaksana dan berani, goyah. Strateginya buruk, pasukannya demoralisasi. Kerajaan di ambang kehancuran.

Saat itulah Xiang Mei maju. Dengan tenang, ia menyusun rencana, mengatur strategi, membangkitkan semangat para prajurit. Ia menggunakan pengetahuannya, kecerdasannya, dan KETERAMPILANNYA untuk membalikkan keadaan.

Kerajaan Rui menang.

Pangeran Rui berlutut di hadapan Xiang Mei, air mata berlinang di pipinya. "Kau telah menyelamatkan kerajaanku, Xiang Mei. Aku berhutang nyawa padamu."

Xiang Mei tersenyum tipis. "Bukan nyawa yang kuinginkan, Pangeran. Aku hanya ingin kau mengingatnya."

Beberapa bulan kemudian, Pangeran Rui mengundurkan diri dari tahta. Ia hidup dalam pengasingan, dihantui oleh kegagalannya, oleh KEHILANGAN harga dirinya, dan oleh penyesalan yang abadi. Putri Lian kembali ke kerajaannya, meninggalkannya sendiri dalam kesepian.

Xiang Mei tidak pernah melupakan Pangeran Rui. Ia tidak pernah melupakan cinta dan pengkhianatan yang pernah ia rasakan. Ia tahu, BALAS DENDAM terindahnya adalah menyaksikan pria itu hidup dalam penyesalan seumur hidup. Bukan darah yang tumpah, tapi hati yang merana.

Ia tersenyum. Senyum yang pahit, senyum yang mengandung sejuta kenangan.

Ia tahu, di kedalaman hatinya…

Cinta dan dendam lahir dari tempat yang sama.

You Might Also Like: 51 Cara Memilih Sunscreen Mineral

Post a Comment

Previous Post Next Post