Embun pagi merayapi kelopak teratai di Danau Giok, sejuk dan hening, sama seperti perasaan yang selalu Lin Yue jaga. Ia hidup dalam kepalsuan, terbungkus kemewahan istana namun tercekik oleh rahasia kelam. Senyumnya adalah topeng, kata-katanya adalah labirin. Lin Yue adalah sang Putra Mahkota, pewaris takhta Dinasti Ming, namun di balik jubah kebesaran, ia menyimpan kebenaran yang lebih pahit dari empedu.
Kemudian, muncullah dia, seorang cendekiawan muda bernama Bai Qian. Matanya setajam elang, penuh rasa ingin tahu dan keberanian yang membara. Bai Qian datang ke istana bukan untuk mengagumi kemewahan, melainkan untuk mencari kebenaran tentang kematian ayahnya, seorang jenderal setia yang secara tiba-tiba dinyatakan sebagai pengkhianat.
Di tengah upacara pernikahan yang megah antara Lin Yue dan Putri Xiahua, mata mereka bertemu. Di antara riuhnya gong dan tabuhan genderang, di antara senyum palsu para bangsawan, tatapan Lin Yue dan Bai Qian bertabrakan. SEJUK, namun menusuk. Dalam sekejap itu, Lin Yue melihat kebenaran di balik mata Bai Qian: kesedihan yang mendalam, tekad yang membaja, dan keraguan yang tajam. Dan Bai Qian, entah bagaimana, melihat kelelahan yang mendalam di balik senyum Putra Mahkota.
"Kau tahu sesuatu," bisik Bai Qian suatu malam di taman istana, di bawah rembulan yang pucat. Kata-katanya bagai tusukan jarum di tengah keheningan. Lin Yue hanya memandangnya, bibirnya terkatup rapat.
"Kebenaran akan terungkap, Putra Mahkota. Cepat atau lambat," lanjut Bai Qian, suaranya lirih namun penuh ancaman.
Konflik merayap seperti racun dalam nadi istana. Bai Qian mengumpulkan bukti, selangkah demi selangkah, mendekati kebenaran tentang konspirasi di balik kematian ayahnya. Lin Yue, di sisi lain, berjuang dengan hati nuraninya. Ia ingin melindungi Bai Qian dari bahaya, namun ia juga terikat oleh sumpah dan kesetiaan pada keluarganya – keluarga yang ternyata lebih busuk dari yang ia bayangkan.
Tekanan semakin berat. Lin Yue tahu, saat kebenaran terungkap, kehancuran akan tak terhindarkan. Ia telah melihat bagaimana kebohongan menggerogoti orang-orang yang ia cintai, dan ia tahu bahwa kebenaran, meski menyakitkan, adalah satu-satunya jalan menuju pembebasan.
Puncaknya terjadi di malam perayaan ulang tahun Kaisar. Bai Qian, dengan bukti yang ia kumpulkan, membuka kedok pengkhianat yang sebenarnya – Kaisar sendiri, ayah dari Lin Yue. Kaisar memerintahkan pembunuhan ayah Bai Qian karena ia mengetahui korupsi yang merajalela di istana.
Istana gempar. Lin Yue, dengan wajah pucat pasi, memandang ayahnya dengan tatapan kosong. KEBENARAN akhirnya terungkap, memporak-porandakan segala yang ia yakini.
Di tengah kekacauan, Lin Yue membuat pilihan. Ia memilih kebenaran, meski itu berarti mengkhianati keluarganya. Dengan tenang, ia memerintahkan pengawal untuk menangkap ayahnya.
Kaisar, dengan tatapan marah, menatap putranya. "Kau akan menyesalinya, Lin Yue!"
"Mungkin," jawab Lin Yue dengan senyum tipis yang dingin. "Tapi aku lebih memilih menyesali kebenaran daripada hidup dalam kebohongan."
Kaisar dibawa pergi, dan Lin Yue mengambil alih kekuasaan. Balas dendam Bai Qian telah selesai. Ayahnya telah dibersihkan namanya, dan kebenaran telah ditegakkan. Namun, kemenangan ini terasa pahit. Ia telah kehilangan segalanya.
Bai Qian, setelah semua ini, pergi. Ia tidak ingin menjadi bagian dari dunia istana yang penuh intrik. Sebelum pergi, ia menatap Lin Yue dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Terima kasih," bisik Lin Yue.
Bai Qian tersenyum. Senyum perpisahan.
Setelah Bai Qian pergi, Lin Yue duduk di singgasananya, sendirian. Ia telah membalas dendam, namun hatinya hancur berkeping-keping. Ia menatap cincin giok yang diberikan Bai Qian padanya sebelum pergi. Cincin itu dingin di tangannya, seolah mengingatkannya pada semua yang telah hilang.
Apakah kebenaran sepadan dengan harga yang harus dibayar?
You Might Also Like: Peluang Bisnis Kosmetik Jualan Kosmetik